Jumat, 06 Maret 2015

Rendra dan Dunia Drama


“Kehidupan Rendra memang colour full, penuh dengan warna-warni, menegangkan, dan mempesona” kata Sapardi Djoko Damono. Tidak berlebihan memang, jika Sapardi menyebut demikian, karena selain penyair, Rendra juga seoarang pemain teater (bahkan sutradara) yang kharismatik. Hal senada juga diungkapkan oleh Emha Ainun Najib dalam sebuah wawancara di bengkel teaternya, Cak Nun mengatakan bahwa Rendra tetap laki-laki garang yang komunikatif. Mripatnya (matanya) dua matahari berpijar, membuat aliran darah terasa lain dan baru
Kritik-kritik sosial Rendra, selain ditulis dalam puisi, juga dipentaskan lewat pertunjukkan drama. Pengaplikasian ide-ide Rendra dalam drama, bukannya tanpa sebab. Selain memang ia mempunyai bakat alamiah untuk menjadi aktor, keadaan waktu itu pun menuntut Rendra untuk tidak hanya sebatas menulis puisi dalam mengkritik.
…tahun 1961 banyak majalah yang dibreidel, antara lain majalah yang banyak memuat sajak-sajak dan cerpen. Lantas saya mulai berfikir, waduh, bagaimana ini, saya kehabisan uang saku. Dan bukan hanya itu. Ide-ide saya lantas tak bisa keluar karena tidak bisa dimuat. Saya pun lama vakum, tapi masih menulis sajak, sedikit-sedikit, satu-dua biji.
Dalam pementasan drama sekalipun, kritik sosial tetap menjadi tema pokok Rendra. Sebagai misal, drama yang berjudul “Dunia Azwar”, yang dipentaskan Rendra bersama bengkel teaternya tiga malam berturut-turut di Teater Terbuka TIM, Jakarta. Bukan barang baru memang, jika dalam lakon sandiwara Rendra sering terkandung kritik terhadapa keadaan masyarakat.
Akan tetapi, sesuatu yang baru dalam “Dunia Azwar” adalah kritik itu tentang masalah-masalah yang aktual dan dikemukakan dengan cara terang-terangan. Bahkan memakai plakat-plakat ala demonstrasi segala.
Walaupun beberapa adegan dalam pentas tersebut terasa bertele-tele, kelewat lama, tanpa cukup variasi-variasi. Akan tetapi, Rendra dengan bengkel teaternya memulai sesuatu yang baru, yang orisinal, yang tak konvensional. Pendobrakan sudah dimulainya, mengagetkan, tapi umumnya dapat diterima sebagai sebuah kenyataan dan kritikan.
Selain itu, cerita Mastodon dan Burung Kondor juga menganngkat tema yang kurang lebih sama. Dalam cerita tersebut, Rendra tidak menyebutkan apa-apa tentang Indonesia –karena latar sosialnya diambil di Amerika Latin-. Akan tetapi, menurut Gunawan Muhammad, Rendra telah berhasil merumuskan masalah-masalah di Indonesia dengan aktual dalam drama tersebut.
Misalnya, di satu pihak ada pertumbuhan ekonomi –yang dalam lakon ini disebutkan dengan cara yang sengaja dilebih-lebihkan: 260%. Akan tetapi, di lain pihak, penderitaan rakyat kecil tidak banyak mengalami perubahan, bahkan cenderung memburuk. Kata-kata Jose Karosta (penyair dalam cerita tersebut), kata Gunawan Muhammad, bukan saja menunjukkan kepandaian Rendra dalam metaphor, tetapi juga menampakkan persepsi dan pengetahuannya yang kuat tentang masalah sosial.
Aku memberi kesaksian, bahwa dibangunnya pabrik-pabrik untuk kepentingan modal asing, tidak berarti mengurangi jumlah pengangguran. Saya memberi kesaksian bahwa pemerintah telah bersungguh-sungguh membina tenaga tidak untuk mobilisasi, tetapi untuk kekukuhan, tidak untuk dinamis, tetapi untuk teguh dan angker, tidak untuk mencipta barisan semut-semut yang bekerja, tetapi barisan gajah-gajah yang suka serba mempertahankan.
Cerita lainnya –yang masih mengangkat tema yang sama- adalah drama yang berjuduk “Sekretaris Daerah” atau yang disingkat sekda. Dalam drama tersebut Rendra bermain bersama dua orang istrinya, yaitu Sunarti ( yang menjadi istri sekda) dan Sitoresmi (menjadi seorang hostess).
Menurut Sides Sudiarto, drama (dagelan?) ini sangat penuh berisi kritik sosial. Kritik dalam sekda paling dominan dan sangat tepat kalau dikatakan bahwa sekda adalah kritik seluruhnya atau kritik total. Pertanyaannya kemudian, siapa saja yang mendapat bagian kritik dalam cerita tersebut? Jawabannya, semua dapat bagian. Mulai dari pejabat, pemerintah, tentara, pemuda-pemudi, orang tua, masyarakat, dan sebagainya.
Akan tetapi yang paling banyak mendapat bagian kritik, tambah Sudiarto, adalah wartawan, setelah itu para seniman pun dapat giliran. Kritik Rendra kali ini sangat tajam, terutama kepada wartawan yang kena sogok, pejabat yang hanya memperkaya diri sendiri, penjilatan kepada atasan, pelacuran intelektual, dan masalah akutal lainnya secara bergantian digasak Rendra.

Bukan Rendra namanya kalau tidak bisa memainkan kata-kata penuh makna. Salah satu kritik (sosial) yang paling tajam dari dialog sekda adalah sebagai berikut: “Seandainya semua koruptor ditangkap, artinya ganti pemerintahan”. Para penonton pun bertepuk tangan dan bersorak menyaksikan lontaran kritik Rendra. Sebuah tepuk tangan yang menandakan keterwakilan suara hati masyarakat, untuk adanya suatu perubahan yang nyata.
oleh: Aan Herdiana

0 komentar:

Posting Komentar