“Kehidupan Rendra memang colour full, penuh dengan warna-warni, menegangkan, dan mempesona”
kata Sapardi Djoko Damono. Tidak berlebihan memang, jika Sapardi menyebut
demikian, karena selain penyair, Rendra juga seoarang pemain teater (bahkan
sutradara) yang kharismatik. Hal senada juga diungkapkan oleh Emha Ainun Najib
dalam sebuah wawancara di bengkel teaternya, Cak Nun mengatakan bahwa Rendra
tetap laki-laki garang yang komunikatif. Mripatnya
(matanya) dua matahari berpijar, membuat aliran darah terasa lain dan baru
Kritik-kritik sosial Rendra, selain ditulis dalam
puisi, juga dipentaskan lewat pertunjukkan drama. Pengaplikasian ide-ide Rendra
dalam drama, bukannya tanpa sebab. Selain memang ia mempunyai bakat alamiah
untuk menjadi aktor, keadaan waktu itu pun menuntut Rendra untuk tidak hanya
sebatas menulis puisi dalam mengkritik.
…tahun
1961 banyak majalah yang dibreidel, antara lain majalah yang banyak memuat
sajak-sajak dan cerpen. Lantas saya mulai berfikir, waduh, bagaimana ini, saya
kehabisan uang saku. Dan bukan hanya itu. Ide-ide saya lantas tak bisa keluar
karena tidak bisa dimuat. Saya pun lama vakum, tapi masih menulis sajak,
sedikit-sedikit, satu-dua biji.
Dalam pementasan drama sekalipun, kritik sosial
tetap menjadi tema pokok Rendra. Sebagai misal, drama yang berjudul “Dunia Azwar”,
yang dipentaskan Rendra bersama bengkel teaternya tiga malam berturut-turut di
Teater Terbuka TIM, Jakarta. Bukan barang baru memang, jika dalam lakon
sandiwara Rendra sering terkandung kritik terhadapa keadaan masyarakat.
Akan tetapi, sesuatu yang baru dalam “Dunia Azwar”
adalah kritik itu tentang masalah-masalah yang aktual dan dikemukakan dengan
cara terang-terangan. Bahkan memakai plakat-plakat ala demonstrasi segala.
Walaupun beberapa adegan dalam pentas tersebut
terasa bertele-tele, kelewat lama, tanpa cukup variasi-variasi. Akan tetapi,
Rendra dengan bengkel teaternya memulai sesuatu yang baru, yang orisinal, yang
tak konvensional. Pendobrakan sudah dimulainya, mengagetkan, tapi umumnya dapat
diterima sebagai sebuah kenyataan dan kritikan.
Selain itu, cerita Mastodon dan Burung Kondor juga
menganngkat tema yang kurang lebih sama. Dalam cerita tersebut, Rendra tidak
menyebutkan apa-apa tentang Indonesia –karena latar sosialnya diambil di
Amerika Latin-. Akan tetapi, menurut Gunawan Muhammad, Rendra telah berhasil
merumuskan masalah-masalah di Indonesia dengan aktual dalam drama tersebut.
Misalnya, di satu pihak ada pertumbuhan ekonomi
–yang dalam lakon ini disebutkan dengan cara yang sengaja dilebih-lebihkan:
260%. Akan tetapi, di lain pihak, penderitaan rakyat kecil tidak banyak
mengalami perubahan, bahkan cenderung memburuk. Kata-kata Jose Karosta (penyair
dalam cerita tersebut), kata Gunawan Muhammad, bukan saja menunjukkan
kepandaian Rendra dalam metaphor, tetapi juga menampakkan persepsi dan pengetahuannya
yang kuat tentang masalah sosial.
Aku
memberi kesaksian, bahwa dibangunnya pabrik-pabrik untuk kepentingan modal
asing, tidak berarti mengurangi jumlah pengangguran. Saya memberi kesaksian
bahwa pemerintah telah bersungguh-sungguh membina tenaga tidak untuk
mobilisasi, tetapi untuk kekukuhan, tidak untuk dinamis, tetapi untuk teguh dan
angker, tidak untuk mencipta barisan semut-semut yang bekerja, tetapi barisan
gajah-gajah yang suka serba mempertahankan.
Cerita lainnya –yang masih mengangkat tema yang
sama- adalah drama yang berjuduk “Sekretaris Daerah” atau yang disingkat sekda.
Dalam drama tersebut Rendra bermain bersama dua orang istrinya, yaitu Sunarti (
yang menjadi istri sekda) dan Sitoresmi (menjadi seorang hostess).
Menurut Sides Sudiarto, drama (dagelan?) ini sangat
penuh berisi kritik sosial. Kritik dalam sekda paling dominan dan sangat tepat
kalau dikatakan bahwa sekda adalah kritik seluruhnya atau kritik total.
Pertanyaannya kemudian, siapa saja yang mendapat bagian kritik dalam cerita
tersebut? Jawabannya, semua dapat bagian. Mulai dari pejabat, pemerintah,
tentara, pemuda-pemudi, orang tua, masyarakat, dan sebagainya.
Akan tetapi yang paling banyak mendapat bagian
kritik, tambah Sudiarto, adalah wartawan, setelah itu para seniman pun dapat
giliran. Kritik Rendra kali ini sangat tajam, terutama kepada wartawan yang
kena sogok, pejabat yang hanya memperkaya diri sendiri, penjilatan kepada
atasan, pelacuran intelektual, dan masalah akutal lainnya secara bergantian
digasak Rendra.
Bukan Rendra namanya kalau tidak bisa memainkan
kata-kata penuh makna. Salah satu kritik (sosial) yang paling tajam dari dialog
sekda adalah sebagai berikut: “Seandainya semua koruptor ditangkap, artinya
ganti pemerintahan”. Para penonton pun bertepuk tangan dan bersorak menyaksikan
lontaran kritik Rendra. Sebuah tepuk tangan yang menandakan keterwakilan suara
hati masyarakat, untuk adanya suatu perubahan yang nyata.
oleh: Aan Herdiana
0 komentar:
Posting Komentar