Jumat, 06 Maret 2015

Mempertimbangakan Rendra di Era Orde Baru

Periode 1966 hingga 1998 merupakan periode yang memiliki ciri khas tersendiri dalam sejarah panjang Indonesia. Dalam rentang waktu tersebut, Orde Baru lahir dan berkembang dengan segala “keistimewaan” yang menyelimutinya, selama tiga dekade lebih memimpin Indonesia. Menurut Michael vatikiotis, merupakan suatu periode kepemimpinan seorang penguasa yang paling lama dalam sejarah Asia Tenggara modern.
David Bourchier (dalam Harry Aveling, 2003:1) memberikan suatu kesimpulan, bahwa apabila ditarik benang merah ideologi selama pemerintahan Soeharto, maka konsepnya adalah “ketertiban”. Dalam hal ini, Soeharto mengencangkan stabilitas, ketertiban, dan kemanan sebagai “objek” dari perkembangan itu sendiri, yaitu untuk membuat rakyat -secara fisik- merasa aman dan tentram, bebas dari ketakutan dan ancaman.
Dalam hal ini tidak dapat dipungkiri, bahwa dalam upaya mengejar “ketertiban” selama bertahun-tahun, berbagai kebebasan telah lenyap. Kepemimpinan Soeharto semakin otoriter, sistem politik semakin lama semakin kaku (atau dikakukan?), di samping itu, militer berusaha keras membangun diri untuk menjadi elemen kekuatan politik dominan di negeri ini, tak tertandingi oleh kekuatan-kekuatan lainnya.
Dalam pelaksanannya, selain mengurus hal-hal yang makro dalam negara, untuk melanggengkan kekuasaan, Orde Baru juga “menertibkan” setiap pemikiran dan perbuatan individu. Di mana ekspresi semakin sempit, opini atau pendapat pribadi terus menerus dicurigai, dan bahkan diiringi ancaman hukuman, dengan penangkapan atau dipenjara.
Bencana bagi penulis
Konsep “penertiban” Soeharto juga merambah ke dunia sastra. Henk Maier –profesor bahasa melayu dari Universitas Leiden, Belanda- mengatakan bahwa Soeharto dan aparat pemerintahannya telah menjadi bencana bagi sebuah generasi penulis, merampok mereka dari kekuatan generatifnya, kekuatan untuk menjadi saksi sejarah yang bisa mengabarkan pada dunia luar apa yang sebenarnya terjadi di depan mata mereka.
Dalam situasi yang demikian, Rendra bagaimanapun adalah seorang sastrawan yang gigih menyuarakan kritik pada masa pemerintahan Orde Baru dan sering menantang bahaya sepanjang tahun 70-an. Keluar masuk penjara adalah hal yang biasa ketika kata dilawan dengan senjata, bahkan kuasa.
Ia pertama kali ditangkap pada Desember 1970, karena ikut ambil bagian dalam “Renungan Malam” sebagai aksi menentang kesewenang-wenangan pemerintah. Pada tahun 1973, ia ditangkap kembali akibat pementasan drama Mastodon dan Burung Kondor. Sebagai konsekuensi dari pementasan drama ini, Rendra dilarang mengadakan pementasan lainnya di Yogyakarta sampai tahun 1977, karena keadaan khusus yang terjadi di daerah.
Selain lewat drama, kritik Rendra terhadap pemerintah juga hadir dalam puisi-puisinya di sepanjang tahun 1970-an. Bahasa dalam puisi tersebut –yang kemudian dikumpulkan dalam buku puisi Potret Pembangunan dalam Puisi- tertuju langsung dan jelas-jelas menampakkan seruan emosi si “pemberontak”. Sajak-sajak itu secara umum, mengkritik efek dari industrialisasi, pendidikan, moral, dan lainnya terhadap keseimbangan antara kemanusiaan dan alam, juga menyerang perilaku materialistis –tanpa memikirkan kesejahteraan rakyat-.
Pada tahun 1971, setelah pengembaraan intelektualnya di Amerika, Rendra mulai bisa melihat masalah sosial-politik-ekonomi secara sturuktual dan menyeluruh di negeri ini. Untuk itu, ia “terpaksa” harus rela melepaskan dirinya dari pesona misteri dan ambiguitas, yang selama ini lekat dengan puisi-puisinya. Ia sadar gagasan, pesan, ide dan kritiknya kali ini memerlukan sarana estetika yang lain. Metafora simbolistis dan surealistis sudah tidak sesuai lagi. Yang diperlukan kali ini adalah metafora-metafora baru yang plastis dan grafis.
Dengan metafora plastis dan grafis, dan dengan bahasa yang transparan, sajak-sajak Rendra, jadi kurang kadar puitisnya. Hampir tampak antipuitis, seperti kata A. Teeuw, bahwa sajak-sajak Rendra seperti “koran”. Akan tetapi, memang Rendra menulis untuk dimengerti, bukan untuk menghidangkan teka-teki.
Pada pemerintahan Orde Baru, karya sastra (puisi pada khususnya) tidak dijadikan sebagai alat untuk memapankan kekuasaan. Pemerintah lebih “senang” menggunakan agen-agen yang bergerak pada ranah institusi, yang secara publik mempunyai kewenangan (Arif Hidayat, 2012: 164). Sementara itu, puisi berada di “wilayah lain” yang tidak diinginkan.

Rezim Orde Baru sejatinya membolehkan penyair untuk berekspresi asalkan dengan tidak mempunyai ideologi yang tidak mengkritik atau bersebrangan dengan pemerintah. Oleh karenanya, wilayah religious, juga pandangan tentang sufi menjadi bagian yang paling aman untuk dituliskan. Mereka memilih menyampaikan wacana sufi karena ada dalam ranah yang tidak mengusik pemertintah. Di satu sisi posisi mereka aman dalam membuat sejarah sastra baru, di sisi lain juga aman untuk mendekati publik.
oleh: Aan Herdiana

0 komentar:

Posting Komentar