Sabtu, 07 Maret 2015

Mahasiswa pun Harus Galau

Pernahkah kita merasa “galau” akan keadaan yang ada sekarang? Ataukah kita merasa aman dan nyaman dengan kondisi sekarang ini? Pertanyaan ini saya lontarkan kepada forum ketika sedang berdiskusi rutin BEM, beberapa waktu lalu. Hasilnya, hampir sebagian peserta bingung mau menjawab apa. Bahkan ada yang bertanya, kenapa harus galau mas?
Ya, kegalauan merupakan proses yang harus dilewati untuk melakukan perubahan. Ada yang mengatakan bahwa kegalauan itu adalah jembatan yang indah, tapi kita tidak boleh berlama-lama di jembatan itu, karena perjalanan masih panjang. Kegalauan muncul akibat adanya keresahan dalam hati ketika melihat realita yang ada, ketika kenyataan tidak sesuai dengan harapan.

Ketika diforum, saya melontarkan beberapa pertanyaan lagi, yang masih dijawab dengan “kediaman” juga. Saya tidak tahu apakah diam itu berfikir atau tidak paham dengan pertanyaan saya. Saya bertanya seperti ini, mau jadi apa setelah lulus nanti? Seorang da’I kondang, guru, penulis handal, penyiar radio/tv, fotografer, atau yang lain? Sudahkah kita menentukan mau jadi apa di esok hari? Hal-hal apa saja yang sudah kita lakukan?

Sudahkah anda berfikir dan merenung, kawan. Renungkan dulu, sudah? Terus, apa yang seharusnya saya lakukan? Ya! Pertanyaan yang sudah saya tunggu, itu salah satu bukti bahwa anda mengalami “galau”. Berarti, sekarang anda dan saya sedang galau. Kita bersama-sama dalam “kegalauan”. Apa yang seharusnya kita lakukan?

Itu yang harus kita pikirkan sama-sama. Dan kita bisa berdiskusi sambil ngopi di kantin, atau dimana saja yang penting nyaman. Tetapi, menurut saya, kuncinya adalah kenali diri kita, siapa saya? dan optimalkan potensi yang ada. Ya, manusia diberi potensi yang sangat luar biasa oleh Tuhan. Patut kita syukuri dengan cara mengoptimalkan potensi itu.


Sudahkah kita tercerahkan?
oleh: Aan Herdiana

Tiga Kejahatan Mahasiswa

Ada hal yang menarik ketika saya membaca buku Bramma Aji, penulis muda asli Yogya. Dalam salah satu tulisannya yang merupakan kutipan dari teman baiknya, Brama mengatakan ada tiga kejahatan utama yang tidak layak dilakukan oleh mahasiswa, atau siapapun itu yang mengaku dirinya agen perubahan ataupun insane akademisi. Apa itu?

Kejahatan pertama adalah tidak suka membaca. Ya, membaca adalah kunci membuka rahasia kehidupan dan alam semesta. Dengan membaca kita mengetahui segalanya. Dan membaca pula yang menjadikan perbedaan mahasiswa dengan abang-abang kita di terminal. Jadi, kalau ada mahasiswa yang anti baca, apa bedanya dengan preman dan (maaf) tukang becak?

Kejahatan yang kedua adalah tidak suka berdiskusi. Ya, diskusi adalah salah satu komunikasi interpersonal yang mempunyai banyak manfaat. Setelah membaca dan merenung (komunikasi intrapersonal), hal yang seharusnya dilakukan adalah berdiskusi. Idea tau konsep brilian yang ada di otak kita, akan membusuk kalu hanya sebatas konsep. Hal ini jelas berbeda apabila, ide brilian tersebut kita diskusikan. Diskusi juga mengajarkan kita untuk berfikir kritis, berargument rasional, dan tahan akan kritikan (ini yang lumayan susah).

Kejahatan yang terakhir adalah tidak suka menulis. Tidak bisa dipungkiri, budaya menulis dikampus kita sangat jauh dari harapan. Hal ini bisa terlihat ketika mahasiswa mengerjakan makalah.Sudahkah anda bisa membuat Latar Belakang Masalah (LBM) yang baik dan benar? Saya tidak mau panjang lebar membahas hal itu, karena saya yakin anda lebih paham. Menulis adalah sarana aktualisasi diri. Ini yang harus ditekankan. Sayyidina Ali pernah berujar,”ilmu itu bagaikan kuda liar yang siap berlari kearah mana saja, karena itu ikatlah ilmu (idea atau konsep) itu dengan tulisan”.


Ketika berbicara tentang menulis, ada sekelompok orang yang mengatakan menulis itu mudah. Ah, terlalu sombong menurut saya. Karena nyatanya, menulis itu tidak segampang yang dikatakan. Lalu, kelompok lain mengatakan, menulis itu sulit. Ah, terlalu berfikiran sempit dan seolah-olah sulit itu menjadi pembenaran dari kemalasan kita. Jadi, menulis itu gimana mas? Satu hal yang harus anda ingat, menulis itu mengasyikan.
oleh: Aan Herdiana

Lima Pondasi Meraih Sukses


Kesuksesan adalah suatu “keharusan” untuk mahasiswa. Harus diperjuangkan, kalau tidak mau dianggap gagal sebagai mahasiswa, sang intelektual muda, pemuda harapan bangsa.
Kesuksesan memang sesuatu yang relatif. Tidak ada patokan yang mutlak sebagai acuannya. Kalau toh, ada yang bilang sukses itu adalah mempunyai pekerjaan yang layak, gaji yang tinggi, tanah yang luas, mobil mewah lebih dari satu dan lain-lain itu hanyalah bentuk/ciri-ciri material kesuksesan. Bukan inti dari kesuksesan.
Untuk mahasiswa, kesuksesan adalah ketika mampu mengoptimalkan segala potensi yang dimilikinya sebagai amanah yang dititipkan Allah SWT. Jadi, tidak hanya mengejar nilai saja, tetapi mampu menjadi pribadi yang mulia (muslim sejati), punya kemandirian, dan tentunya mempunyai nilai kebermanfaatan untuk lingkungan sekitar.
Setidaknya ada lima pondasi, menurut Setia Furqon Khalid, untuk menyokong kesuksesan. Pertama, kekuatan spritual yang membuat manusia selalu dekat dengan Tuhannya. Kedua, kekuatan emosional, yang menjadikanya mudah beradaptasi dengan lingkungan. Ketiga, kekuatan financial, untuk membiayai proses menuju sukses. Keempat kekuatan intelektual, yaitu kemampuan untuk  berfikir dan yang terakhir kekuatan aksi. Kekuatan yang menjadikan seorang pemimpin bukan pemimpi.
Tentu saja sukses itu butuh proses, proses yang sangat panjang. Tidak ada yang instan di dunia ini. Untuk masak  mie instan saja butuh proses, bukan?

Allah Yang Maha Kuasa memberikan pelajaran yang berharga buat kita, bagaimana pentingnya sebuah proses. Hal ini digambarkan dalam proses penciptaan langit dan bumi. Dalam QS. Yunus :3 Allah berfirman “Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa...”. Sungguh indah Allah menggambarkan sebuah proses. Proses adalah suatu keharusan untuk perubahan diri yang lebih baik, meraih kesuksesan.
oleh : Aan Herdiana

3B: Bergerak, Berubah, Bermanfaat (Refleksi Sumpah Pemuda)

Masa muda, masa yang berap-api… Demikian sepenggal syair dari raja dangdut, Bang Haji Roma Irama dalam salah satu lagunya. Ya, sekiranya kalimat tersebut sangat pas menggambarkan masa muda. Masa yang penuh dengan semangat, optimisme, keyakinan, -yang digambarkan dengan “api” oleh Bang Haji. Dengan bahasa lain, masa muda adalah masa keemasan manusia untuk memperoleh kesuksesan (baca: kebahagiaan) dalam hidupnya.

Dalam sejarah panjang bangsa ini pun, pemuda mempunyai tempat tersendiri,yang tak tergantikan. Sejarah mencatat, bahwa kaum muda yang “tercerahkan” lah, yang mempunyai gagasan tentang pentingya kesadaran nasional, dengan meninggalkan semangat kedaerahan yang tidak mampu mengusir penjajah. Dalam catatan lain, juga disebutkan kaum pemuda yang “memaksa” bapak proklamator Indonesia, Bung Karno dan Bung Hatta, untuk secepatnya mengproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Dan masih banyak lagi, catatan-catatan pemuda dalam menggoreskan sejarah dengan tinta emas perjuangan bangsa ini.

Kini, Indonesia telah merdeka dengan memasuki tahun ke-68. Usia yang relatif tua, jika disandingkan dengan usia manusia. Diusia ini, masalah-masalah klasik, seperti kemiskinan, pengangguran, masih menjadi masalah utama yang menjadi pekerjaan rumah bersama. Padahal, jika kita mau melihat dan jujur, sumber daya alam Indonesia, sangatlah melimpah. Tidaklah salah jika ada yang bilang Indonesia adalah surganya dunia. Ironis tentunya, jika melihat masih ada rakyat Indonesia yang masih kelaparan.

Ketidakadilan, kemiskinan, korupsi, hilangnya jati diri (karakter), adalah masalah yang harus dihadapi bangsa ini. Merasakan fenomena ini, kiranya peran aktif pemuda untuk melakukan perubahan -layaknya seperti dalam catatan sejarah- harus lebih ditingkatkan dan dimaksimalkan. Kenapa harus pemuda? Ya, sangatlah mustahil jika tanggung jawab ini dipikul oleh orang tua, yang tidak lagi mempunyai semangat dan tenaga yang kuat, layaknya pemuda. Oleh karenanya, pemuda adalah kuncinya.

Berawal dari gerakan

Diawal sudah disinggung bahwa, pemuda adalah titik sentral dalam perubahan bangsa ini. Kuncinya, bagaimana membentuk karakter pemuda yang tangguh, pantang menyerah, untuk memperjuangkan perubahan untuk memperoleh kebermanfaatan. Hal ini tentunya tidaklah mudah. Seperti yang kita pahami bersama, arus globalisasi yang menggurita diseluruh aspek kehidupan bangsa, termasuk moral dan etika, menjadi musuh utama dewasa ini. Banyak pemuda, yang masih mencari jati diri, tergerus arus globalisasi, yang berimbas kepada hancurnya moral.

Kenakalan remaja, tawuran antar mahasiswa, narkoba, sex bebas, semakin menjadi-jadi akhir-akhir ini. Jika suatu bangsa, generasi penerusnya sudah tidak mempunyai karakter, mau dibawa kemana bangsa ini?

Melihat fenomena ini, tentunya dibutuhkan perhatian yang lebih dari pemerintah untuk “menyelamatkan” pemuda dari jurang degredasi, untuk kembali ke tempat awal, sebagai agen perubahan. Selain itu, konsep diri, motivasi diri, dorongan individu, sebagai “benteng” pertahanan diri pun tidak kalah penting.

Dalam membangun konsep diri, pemahaman dan kesadaran akan dirinya adalah hal yang penting. Bagimana ia melihat dan menilai diri sendiri. Sebagai manusia, nilai kebermanfaatan dirinya untuk manusia lain, adalah tujuan yang mulia. Dan hal ini juga kiranya yang diajarkan oleh Rasulullah, bahwa sebaik-baik manusia adalah orang yang bermanfaat bagi sesamanya.

Sebagai pemuda, mempunyai konsep diri yang jelas, adalah suatu keharusan, walaupun memang tak mudah. Adapun rumus 3B dibawah ini bisa menjadi arahan untuk membentuk konsep diri sebagai pemuda.

Pertama, bergerak. Tidak ada capaian yang memuaskan, tidak ada hal yang membanggakan, tanpa dimulai dengan suatu gerakan. Para pendaki gunung, yang mencapai puncak pun dimulai dengan langkah pertama (gerakan). Begitu juga seorang pelari, untuk mencapai garis finish, dimulai dengan langkah pertama(gerakan). Intinya, suatu capaian akan berhasil jika ada suatu gerakan. Adalah hal yang sia-sia, jika dalam hidup ini kita hanya diam, berpangku tangan dalam melihat masalah-masalah social. Dan kiranya, lewat tulisan ini pun, saya sudah berusaha untuk bergerak –dengan izin Allah, untuk mengaktualisaikan ide dan gagasan lewat sebuah tulisan. Dengan harapan, akan terjadinya sebuah perubahan, setidaknya untuk diri sendiri.

Kedua, berubah. Setelah melakukan gerakan dalam hidup ini, adanya perubahan adalah tujuan yang ingin capai. Tentunya perubahan ke arah yang lebih baik. Dan, tidak ada perubahan, tanpa adanya suatu gerakan. Oleh karenanya, kedunya adalah hubungan sebab-akibat yang saling mempengaruhi satus sama lain. Ketiga, setelah bergerak, kemudian berubah, lalu bermanfaat. Inilah pesan yang sampaikan Rasulullah kepada umatnya, untuk menjadi manusia yang sebaik-baiknya.

Sudah saatnya kita mereflesikan nilai-nilai perjuangan sejarah sebagai landasan untuk  bergerak. Pemuda adalah bagian yang tak terpisahkan dari perjuangan bangasa ini untuk merebut kemerdekaan. Begitupun dalam konteks sekarang, sudah selayaknya, pemuda mengisi kemerdekaan dengan sesuatu yang bermanfaat untuk bangsa.


Mari bergerak, berubah, dan bermanfaat, kawan! Hidup pemuda!
oleh: Aan Herdiana

Cukup Satu Petani Pintar Saja

Jika hari ini, saat ini, ada sebuah pertanyaan kepada muda-mudi Indonesia, “Profesi apa yang anda inginkan?” saya yakini, hanya minoritas yang memilih sebagai petani. Ya, selama ini petani identik dengan kerjaan orang kampung yang tidak berpendidikan. Selain itu, kerja keras ditengah terik matahari menjadi kendala generasi muda enggan memilih profesi klasik ini. Tidak dipungkiri, anak muda sekarang lebih nyaman kerja di ruangan ber-AC dan duduk santai dibelakang meja.

Petani tidak akan pernah kaya! Begitu ujar kawan saya dengan lantangnya, dalam sebuah diskusi. Kiranya pendapat kawan tersebut, sangat pas mewakili kehidupan di kampung tempat saya tinggal. Berpuluh-puluh tahun menekuni profesi sebagai petani, tidak ada peningkatan taraf hidup masyarakat yang signifikan. Masih dalam kesederhanaan (baca: kemiskinan).

Ketika nilai jual hasil panen, tidak sesuai dengan kerja keras dan modal awal, disikapi dengan sangat bijak. Tidak ada hal yang berlebih dalam mengungkapkan ekspresi penyesalan –walau harganya jauh dari logika dan harapan- kecuali gerutuan dari bibirnya, sikap yang spontan dan manusiawi, menurut saya.

Dalam kesederhanaan, baik dalam pikiran dan perbuatan, mereka hanya ingin bisa makan dari hasil taninya. Tidak ada keinginan yang muluk-muluk, kalau lebih untuk biaya anak sekolah. Ditengah arifnya mereka menyikapi hidup ini, tapi disisi lain, tidak dipungkiri mereka adalah korban kaum kapital yang hanya mengejar laba belaka. Kalau seperti itu, apa yang akan kita perbuat?

Mahasiswa sebagai Petani pintar dan bijak

Dalam salah satu tulisannya, budayawan asal Yogyakarta, Prie GS, mengatakan bahwa hutan di Indonesia akan baik-baik saja walaupun dicuri tiap hari. Sepanjang pencuri itu hanyalah para penduduk sederhana yang butuh hanya untuk bangun rumah. Tetapi, cukup dengan hanya satu pencuri pintar saja, seluruh hutan bisa lenyap tak tersisa.

Selama ini, realita di lapangan, petani adalah simbol orang kampung yang hidup dalam kesederhanaan, dengan mempunyai pemikiran, yang penting masih bisa untuk makan. Oleh karenanya, berkaca dari pendapatnya budayawan kota gudeg itu, bisa diasumsikan bahwa, cukup dengan hanya satu petani pintar saja, sektor pertanian Indonesia akan mengalami perubahan yang signifikan.

Ya, kiranya pendapat saya tidak muluk-muluk amat. Pertanian di Indonesia memang butuh figur yang langsung dilapangan, berada dipihak petani, bersama petani, mengerti dan memahami keadaan petani. Tidak hanya sebatas duduk di gedung bertingkat, mengeluarkan kebijakan yang malahan bersebrangan dengan hati nurani rakyat.

Mahasiswa sebagai insan akademis, mempunyai modal itu. Sebagai anak muda, sudah saatnya melek profesi klasik ini. Jika tidak, mungkin benar apa yang dikatakan guru saya, 20 tahun mendatang tidak ada lagi petani di Indonesia. Dan tanda-tandanya sudah bisa kita lihat. Jarang sekali pemuda yang ingin berprofesi sebagai petani, terlebih mahasiswa, yang katanya kaum elit.

Kalau bukan kita, siapa lagi? Mungkin pertanyaan inilah yang akan menggugah hati kita – kalau hati kita tercerahkan untuk berbuat sesuatu bagi negeri ini. Untuk melakukan perubahan, tidak cukup hanya sebatas konsep. Tapi, harus dengan aksi nyata, turun kelapangan. Tentunya, jika profesi petani mulai dilirik oleh kaum intelektual, saya yakin, hasil panennya tidak hanya sebatas untuk makan. Tapi, punya orientasi yang jelas kedepannya. Dengan ilmu yang dimiliki dan jaringan yang dipunyai, serta atas izin Tuhan, tidak ada yang tidak mungkin didunia ini untuk membawa wajah pertanian Indonesia.

Inilah yang jadi faktor pembeda. Secercah harapan muncul dari kaum muda dengan idealisme dan kreatifitasnya. Petani yang tidak lagi polos dan sederhana dengan realita sosial yang ada. Petani yang pintar, tidak hanya dari teknis pengolahannya saja. Tapi juga dalam me-menej, mengolah hasil panen, dengan melihat situasi perekonomian secara makro.


Tapi ingat! Intelektual saja tidak cukup. Harus terus belajar lagi supaya menjadi orang bijak. Dengan kebijakan yang dipunya, kiranya tak kan ada “kebijakan-kebijakan” yang akan menyakiti hati nurani rakyat. Semoga saja, kawan mahasiswa bisa membaca, mendengar, memahami, ide yang tak jelas ini. Salam perubahan
oleh: Aan Herdiana

Catatan Dini Hari

Kamis dini hari, pertengahan bulan Mei 2012, ketika aku terbangun ditengah keheningan pagi. Damai yang kurasa. Tidak ada satupun yang menganggu keintimanku dengan Sang Pencipta. Setelah menuaikan shalat malam, aku berdoa dengan khusu’ sebisaku. Ah, susah memang berdoa dengan khusu. Setelah itu, aku berniat menambah wawasanku dengan meliat tv. Jam segini mah, acaranya lumayan bagus, dari pada acara menjelang maghrib yang isinya hanya senang-senang.

Baru saja aku mencet tombol power, aku teringat ada tugas tehnik writing. Ya, sudah hampir 2 minggu tugas ini bulum ku kerjakan. Maklumlah, minggu kemarin lebaran Idul Adha, tak sempat pula aku mengerjakannya. dirumah sibuk banget.

Aku pinjem laptop temanku. kebetulan lapotopku lagi dipinjem juga. Tak tau dari mana awalnya aku teringat tentang masa laluku di tahuan 2008-an. Waktu itu aku bekerja di alfamart, Banjarnegara. Kira-kira 1 jam dari Purwokerto, dan sekitar 5 jam dari Ciamis, kota kelahiranku. Suka dan duka aku lalui semasa bekerja. Usia yang masih relatif muda (dulu) sudah mencari uang untuk kehidupannya sendiri. Dan alhamdulilah, aku sudah merasakan nikmatnya makan dengan hasil keringat sendiri. Sensasinya beda bung! ada rasa bangaa bercampur nikmat walau makan hanya dengan mendoan.

Aku dulu kurus kawan. Ya, mungkin karena gaji yang tidak sebertapa, tapi akau “memaksakan” untuk nabung buat orang tua. Makan dua kali sehari denga kerja yang lumayan berat cukup menyedot lemakku....


Ah, ingin rasanya aku bercerita lama, tapi sayang waktu sudah menunjukkan 10 menit. Itu tandanya tulisanku harus berhenti sampai disini. Kenapa Cuma 10 menit? kalau itu aku tak tahu, tanyakan saja kepada yang membaca tulisan ini, karena dia yang lebih tahu.

Jadilah Pemimpin Berkarakter Surgawi

Pemuda adalah harapan bangsa, begitu kiranya. Nasib masa depan suatu bangsa, tergantung kepada karakter pemudanya saat ini. Ketika bicara soal pemuda, hal pertama yang bisa kita lihat dan rasakan adalah semangat, optimisme tinggi, dan idealis. Semangat yang berkobar di dada untuk meraih cita-cita dan harapan. Benar kiranya jika Bang Haji Roma Irama berdendang, “masa muda masa yang berapi-api”.

Didalam optimisme dan semangat yang membara, tidak bisa dipungkiri pemuda masih labil dalam menjalani liku kehidupan. Emosi yang belum matang, ditambah godaan lingkungan yang menjerumuskan kian marak. Terlebih dewasa ini, arus globalisasi yang menggurita dihampir seluruh aspek kehidupan, tak terkecuali moralitas bangsa yang membuat pemuda bangsa terpuruk ke jurang degredasi moral.

Ditengah arus globalisasi, pemuda Indonesia sedang mencari jati diri yang hilang ditelan waktu. Penguatan karakter yang dulu selalu dikumandangkan Ir. Soekarno dalam setiap pidatonya sudah tak terlihat. Ya, harus kita akui dan berlapang dada, bahwa pemuda saat ini sedang terpuruk tergilas arus globalisasi.

Lihat saja judul-judul berita sekarang ini. Masyarakat Indonesia, dewasa ini sangat mudah terpancing emosinya. Gara-gara hal sepele nyawa bisa melayang. Ironisnya, mahasiswa, yang nota bene adalah kaum terdidik pun melakukan hal yang serupa. Mau dibawa bangsa ini ketika para kader bangsa mempunya “mental bandit”.

Melihat realita tersebut, penguatan karakter pemuda bangsa adalah harga mutlak yang harus dilakukan. Dalam tulisan yang sederhana ini, penulis akan menjelaskan tentang salah satu karakter -dari sekian banyak- yang sangat urgen, yang harus dimiliki pemuda untuk perubahan yang lebih baik.

Kuncinya, Disiplin

Adalah disiplin. Disiplin dalam hal apa saja. Ya, disiplin adalah kata yang mudah diucapkan tetapi sulit diaplikasikan. Sebagai muslim sejati, semestinya kita sudah berkenalan baik dengan yang namanya “disiplin”. Setidaknya sehari semalam shalat lima waktu dengan ketentuan yang sudah ditentukan oleh Allah SWT, yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, mulai dari jumlah rakaat, waktu pelaksanaan dan yang lainnya. Shalat diawal waktu, berjama’ah pula, bukankah itu pembelajaran untuk disiplin dalam kehidupan? yang semestinya mempunyai pengaruh dalam keseharian?

Bukankah Allah SWT sudah memberikan contoh kepada kita untuk selalu disiplin. Lihat saja pergerakan matahari. Dengan disiplin yang tinggi, matahari terbit di timur setiap pagi dan tenggelam diujung barat menjelang petang. Selalu begitu setiap hari. Coba bayangkan kalau matahari terbit di siang bolong, hancurlah dunia ini. Tapi, berkat disiplin, matahari senantiasa setia untuk selalu mengahangatkan bumi atas izin Tuhannya.

Tidak hanya itu, Tuhan pun memberi kita contoh tentang pentingnya disiplin dalam tubuh kita. Apa itu? jantung. Ya, denyut jantung adalah bukti bahwa seorang manusia masih diberi kenikmatan untuk hidup. Andai jantung tidak disiplin dalam memompakan darah keseluruh tubuh, apa yang terjadi dengan manusia?


Lihat juga bangsa-bangsa maju didunia, seperti Amerika, Jepang, Korea, Cina dan yang lainnya, sebagai suatu pembelajaran dan refleksi dalam hidup. Apakah mereka menjadi negara maju tidak dengan tradisi disiplin? Saya rasa tidak ada suatu kesuksesan yang diraih tanpa adanya disiplin.
oleh: Aan Herdiana

Jumat, 06 Maret 2015

Makna Jihad Bagi Mahasiswa

Jika dalam tulisan ini, saya mengangkat tema jihad, rasanya isu terorisme menjadi wacana yang sangat relevan. Entah siapa yang memulai, tapi dua istilah ini, dalam beberapa tahun terakhir menjadi “sangat akrab” di telinga dan selalu hangat untuk diperbincangkan dari forum resmi, semisal seminar, sampai warung kopi pinggiran jalan. Walau dewasa ini, isu terorisme sudah jarang menghiasai televisi tanah air (karena disibukkan dengan kasus koruopsi yang tak kunjung usai) bukan berarti isu ini hilang bagitu saja.
Tetapi dalam tulisan ini, saya tidak akan membahas hal itu. Terlalu luas dan kompleks untuk menjelaskannya disini. Selain itu, pengetahuan saya juga belum memadai untuk mengkritisi dan menganalisis. Dalam tulisan ini, saya hanya ingin menjelaskan tentang jihad dalam arti yang sederhana, yang membumi, untuk bisa dipahami dan diaplikasikan dalam keseharian.
Dalam artian yang sederhana, jihad adalah berjuang dengan sunguh-sungguh menurut syari’at Islam. Ada perjuangan, ada kesungguhan, dan kerja keras untuk mencapai sesuatu, itu kunci jihad dalam tulisan ini. Selama ini, pemahaman jihad seakan melangit, dan selalu diidentikkan dengan kekerasan atau peperangan fisik saja, seolah jihad tidak berlaku dalam kehidupan sehari-hari.
Padahal, kesungguhan ataupun kerja keras dalam keseharian harus selalu ditanamkan. Misalnya seorang pelajar atau mahasiswa, harus senantiasa bersungguh-sungguh dalam melakukan aktifitasnya di dunia akademis. Seorang pemuda harus sungguh-sungguh mempersiapkan segala keperluannya untuk pernikahan. Bukankah belajar dan menikah adalah ibadah?
Allah SWT pun sudah berjanji kepada para mujahid (orang yang berjihad) yang mengharap ridha-Nya, dengan memasukkannya ke dalam surga. Sungguh tempat yang diidam-idamkan oleh seluruh umat manusia, yang beragama. Jika kita berbicara tentang surga, maka kita akan memperbincangkan sesuatu yang indah dan membahagiakan. Jangan terlalu berfikir jauh dengan membayangkan bagaimana kehidupan surga di akhirat? Karena di dunia pun, kita sudah bisa merasakan surga, kalau kita sunguh-sungguh.
Jika dalam kuliah, yang hanya empat tahun saja, dibarengi dengan kesungguhan dan kerja keras dalam menuntut ilmu, maka orang tua akan tersenyum bahagia melihat anak tercintanya memakai baju kebesaran sarjana dan meraih kesuksesan. Bukankah senyum orang tua adalah surga bagi kita, anak-anaknya?
Berlainan, jika dalam kuliah tidak ada kesungguhan dan motivasi yang kuat dalam diri. Kuliah hanya sebatas formalitas dalam hidup. Datang, duduk, absen, nongkrong dikantin, mengerjakan makalah alakadaranya, skripsi tak kunjung selesai dan lain-lain. Benar apa yang dikatakan dosen saya, bahwa mahasiswa yang belum selesai-selasai merampungkan skripsi dalam  rentang waktu yang cukup lama, ada satu bab yang belum dia selesaikan dan kuasai, yaitu: bab niat. Ya, untuk bab yang satu ini, memang tidak diajarkan dikampus, tapi timbul dari hati yang penuh dengan kesungguhan.
Keutamaan jihad
Dalam kitab Jawahirul Buchari, karangan Mustafa Muhammad Umarah, dijelaskan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda: keutamaaan jihad adalah seperti orang yang berhaji mabrur. Selain itu, Nabi SAW juga bersabda, orang yang paling utama adalah seorang mukmin  yang berjihad di jalan Allah dengan jiwa dan hartanya.
Seperti yang kita tahu, haji adalah rukun Islam terkahir, yang tidak semua umat Islam mampu melaksanakannya. Hanya orang yang terpilih, mau dan mampu saja, baik dari segi fisik, materi, keilmuan maupun hatinya.
Bagi muslim yang beriman, melaksanakan ibadah haji ke tanah suci merupakan suatu keinginan dan harapan yang selalu dijaga dalam hati. Tetapi sayangnya, tidak semua harapan itu bisa terkabul. Tetapi mengapa Rasulullah SAW bersabda, bahwa keutamaan jihad adalah seperti orang yang berhaji mabrur.
Hemat saya, titik fokus dari sabda Nabi tersebut adala jihad (kesungguhan) dalam melakukan apapun, dalam profesi apapun yang digeluti manusia, laksana perjuangan untuk memperoleh “gelar” haji mabrur. Sekali lagi, umat muslim harus senantiasa bersungguh-sungguh dan bekerja keras dalam mencapai sesuatu, yang mana kesungguhan itu, keutamaannya sama dengan orang yang pergi haji.
Telebih kepada mahasiswa, kepada diri saya sendiri, atau pemuda pada umumnya. Jika kita melihat sejarah, peran pemuda dalam setiap proses perubahan sosial, dimana pun, kapan pun, dibelahan dunia ini tidak bisa dihilangkan. Semangat pemuda, selalu menjadi corak warna yang khas, yang mewarnai peradaban dunia.
Di awal perjuangan Islam, Rasulullah pun memegang salah satu elemen dalam perubahan itu, yaitu pemuda. Sebagai contoh, ada Ali bin Abi Thalib. Dengan semangat dan kecerdasannya Ali setia dan patuh kepada Rasulullah. Bahkan Ali rela mati untuk panutannya itu.
Pun begitu dalam sejarah panjang bangsa ini, goresan tinta emas perjuangan pemuda selalu menjadi warna tersendiri, dalam catatan sejarah kemerdekaan Indonesia. Termasuk dalam penggulingan rezim otoriter yang berkuasa lebih dari tiga puluh tahun, mahasiswa dan pemuda mempunyai peran yang vital. Walau ada yang beranggapan, jatuhnya Soeharto karena ulahnya sendiri, jadi mahasiswa tinggal “menyenggolnya” maka, ia akan jatuh dengan sendirinya. Terlepas dari itu, pemuda dan mahasiswa mempunyai peranan yang penting dalam mengisi kemerdekaan bangsa ini.
Refleksi sumpah pemuda
Momen sumpah pemudah yang akan diperingat dalam waktu dekat (28 Oktober), sudah seyogyanya menjadi bahan refleksi untuk pada calon pemimpin bangsa. Sudahkah kita bersungguh-sungguh memperjuangkan tonggak estafet kepemimpinan dan  amanah dari para pahlawan yang gugur di meda perang. Ataukah kita hanya berleha-leha, bersantai ria menikmati kemerdekaan ini, tanpa mengisinya dengan kesungguhan dalam setiap hembusan nafas, pemikiran dan perbuaatan.
Dengan momentum sumpah pemuda, kesungguhan dalam capaian tertentu harus dilipatgandakan. Karena janji Tuhan, akan ada kebahagiaan, setelah kesungguhan dan kerja keras yang tak kenal lelah.  

Jadilah “surga” untuk diri sendiri, keluarga, dan orang-orang yang kita cintai dengan bersungguh-sungguh mengabdikan diri kepada Yang Maha Kuasa, dengan mengotimpalkan seluruh potensi yang ada.
oleh : Aan Herdiana

Rendra dan Dunia Drama


“Kehidupan Rendra memang colour full, penuh dengan warna-warni, menegangkan, dan mempesona” kata Sapardi Djoko Damono. Tidak berlebihan memang, jika Sapardi menyebut demikian, karena selain penyair, Rendra juga seoarang pemain teater (bahkan sutradara) yang kharismatik. Hal senada juga diungkapkan oleh Emha Ainun Najib dalam sebuah wawancara di bengkel teaternya, Cak Nun mengatakan bahwa Rendra tetap laki-laki garang yang komunikatif. Mripatnya (matanya) dua matahari berpijar, membuat aliran darah terasa lain dan baru
Kritik-kritik sosial Rendra, selain ditulis dalam puisi, juga dipentaskan lewat pertunjukkan drama. Pengaplikasian ide-ide Rendra dalam drama, bukannya tanpa sebab. Selain memang ia mempunyai bakat alamiah untuk menjadi aktor, keadaan waktu itu pun menuntut Rendra untuk tidak hanya sebatas menulis puisi dalam mengkritik.
…tahun 1961 banyak majalah yang dibreidel, antara lain majalah yang banyak memuat sajak-sajak dan cerpen. Lantas saya mulai berfikir, waduh, bagaimana ini, saya kehabisan uang saku. Dan bukan hanya itu. Ide-ide saya lantas tak bisa keluar karena tidak bisa dimuat. Saya pun lama vakum, tapi masih menulis sajak, sedikit-sedikit, satu-dua biji.
Dalam pementasan drama sekalipun, kritik sosial tetap menjadi tema pokok Rendra. Sebagai misal, drama yang berjudul “Dunia Azwar”, yang dipentaskan Rendra bersama bengkel teaternya tiga malam berturut-turut di Teater Terbuka TIM, Jakarta. Bukan barang baru memang, jika dalam lakon sandiwara Rendra sering terkandung kritik terhadapa keadaan masyarakat.
Akan tetapi, sesuatu yang baru dalam “Dunia Azwar” adalah kritik itu tentang masalah-masalah yang aktual dan dikemukakan dengan cara terang-terangan. Bahkan memakai plakat-plakat ala demonstrasi segala.
Walaupun beberapa adegan dalam pentas tersebut terasa bertele-tele, kelewat lama, tanpa cukup variasi-variasi. Akan tetapi, Rendra dengan bengkel teaternya memulai sesuatu yang baru, yang orisinal, yang tak konvensional. Pendobrakan sudah dimulainya, mengagetkan, tapi umumnya dapat diterima sebagai sebuah kenyataan dan kritikan.
Selain itu, cerita Mastodon dan Burung Kondor juga menganngkat tema yang kurang lebih sama. Dalam cerita tersebut, Rendra tidak menyebutkan apa-apa tentang Indonesia –karena latar sosialnya diambil di Amerika Latin-. Akan tetapi, menurut Gunawan Muhammad, Rendra telah berhasil merumuskan masalah-masalah di Indonesia dengan aktual dalam drama tersebut.
Misalnya, di satu pihak ada pertumbuhan ekonomi –yang dalam lakon ini disebutkan dengan cara yang sengaja dilebih-lebihkan: 260%. Akan tetapi, di lain pihak, penderitaan rakyat kecil tidak banyak mengalami perubahan, bahkan cenderung memburuk. Kata-kata Jose Karosta (penyair dalam cerita tersebut), kata Gunawan Muhammad, bukan saja menunjukkan kepandaian Rendra dalam metaphor, tetapi juga menampakkan persepsi dan pengetahuannya yang kuat tentang masalah sosial.
Aku memberi kesaksian, bahwa dibangunnya pabrik-pabrik untuk kepentingan modal asing, tidak berarti mengurangi jumlah pengangguran. Saya memberi kesaksian bahwa pemerintah telah bersungguh-sungguh membina tenaga tidak untuk mobilisasi, tetapi untuk kekukuhan, tidak untuk dinamis, tetapi untuk teguh dan angker, tidak untuk mencipta barisan semut-semut yang bekerja, tetapi barisan gajah-gajah yang suka serba mempertahankan.
Cerita lainnya –yang masih mengangkat tema yang sama- adalah drama yang berjuduk “Sekretaris Daerah” atau yang disingkat sekda. Dalam drama tersebut Rendra bermain bersama dua orang istrinya, yaitu Sunarti ( yang menjadi istri sekda) dan Sitoresmi (menjadi seorang hostess).
Menurut Sides Sudiarto, drama (dagelan?) ini sangat penuh berisi kritik sosial. Kritik dalam sekda paling dominan dan sangat tepat kalau dikatakan bahwa sekda adalah kritik seluruhnya atau kritik total. Pertanyaannya kemudian, siapa saja yang mendapat bagian kritik dalam cerita tersebut? Jawabannya, semua dapat bagian. Mulai dari pejabat, pemerintah, tentara, pemuda-pemudi, orang tua, masyarakat, dan sebagainya.
Akan tetapi yang paling banyak mendapat bagian kritik, tambah Sudiarto, adalah wartawan, setelah itu para seniman pun dapat giliran. Kritik Rendra kali ini sangat tajam, terutama kepada wartawan yang kena sogok, pejabat yang hanya memperkaya diri sendiri, penjilatan kepada atasan, pelacuran intelektual, dan masalah akutal lainnya secara bergantian digasak Rendra.

Bukan Rendra namanya kalau tidak bisa memainkan kata-kata penuh makna. Salah satu kritik (sosial) yang paling tajam dari dialog sekda adalah sebagai berikut: “Seandainya semua koruptor ditangkap, artinya ganti pemerintahan”. Para penonton pun bertepuk tangan dan bersorak menyaksikan lontaran kritik Rendra. Sebuah tepuk tangan yang menandakan keterwakilan suara hati masyarakat, untuk adanya suatu perubahan yang nyata.
oleh: Aan Herdiana

Definisi Majalah Dinding (Mading)


A.   Sekilas Tentang Mading
Majalah Dinding adalah salah satu jenis Media Komunikasi massa tulis yang paling sederhana. Media adalah sarana untuk menghubungkan antara pemberi informasi dengan konsumen informasi. Lewat media ini pembaca akan tahu tentang apa-apa yang terjadi di luar dirinya. Jenis media ini macam-macam. Ada media elektronik, media cetak, media online, dan seterusnya. Mading hanya salah satu bentuk media tersebut. Berdasarkan bentuknya, mading bisa masuk kategori media cetak.
Seperti namanya, majalah dinding, mading berupa majalah yang ditempel di dinding. Majalah mempunya ciri terbitan yang lebih berkala panjang, misalnya mingguan atau bulanan atau malah empat bulanan. Selain waktu terbit yang lebih panjang, isi majalah juga secara umum lebih tematis atau berdasarkan tema tertentu. Misalnya temanya tentang mencari sekolah baru, berteman di zaman virtual, cinta, persahabatan dan seterusnya.
B.   Ciri-ciri Mading:
1.   Dikelola bersama
Seperti media cetak pada umumnya, pengelolaan mading terdiri dari tiga tahap penting yaitu perencanaan, produksi, dan evaluasi. Perencanaan ini meliputi perencanaan tema dan desain. Sedangkan produksi antara lain pengumpulan informasi (riset, reportase, dan wawancara), penulisan (termasuk editing), dan desain mulai dari layout, foto, dan ilustrasi. Adapun evaluasi bisa berupa evaluasi proses, redaksional, dan desain mading.
2.   Terbit lama dan materi tahan lama
Layaknya majalah pada umumnya, mading pun mempunyai karakter yang sama. Salah satunya adalah waktu. Mading dikelola dengan waktu yang relative lebih lama daripada Koran, semisal seminggu, dua minggu, atau sebulan sekali.
Dengan waktu yang relative lama, maka isi dari mading jangan memuat hal yang cepet “basi” seperti Koran.
3.   Ada rubrikasi
Untuk memudahkan pembaca adanya pembagian (rubric) dalam mading adalah hal yang penting.
4.   Tampilannya ditempel didinding dan sebainya.
C.   Fungsi Mading:
1.   Pengetahuan
2.   Penilaian, bisa lewat kritik, pujian, dll
3.   Hiburan
4.   Ekspresi
5.   Menumbuhkan minat membaca dan menulis
6.   Berorganisasi

D.  Materi mading:
1.   Tema adalah hal yang penting dalam setiap tulisan. Begitu juga dalam mading. Oleh karena itu pemilihan tema harus disesuaikan dengan keadaan sosial, psikilogis dari pembacanya.
2.   Angle (sudut pandang)
Kemampuan penulis untuk melihat suatu masalah dari sudut pandang tertentu. Misalnya, Cristiano Ronaldo, anglenya ketika dia masih kecil, dan bermain di kebun bersama teman-temannya tanpa sepatu.
3.   Kedalaman
Makin dalam suatu tulisan, makin bagus. Hal ini tak terlepasa dari unsur berita  yaitu 5w+ih
4.   Narasumber
Ketepatan dalam memilih narasumber, mempengaruhi kualitas tulisan. Misalkan kebijakan sekolah, tanyakan kepada kep. Sek.
5.   Rubrikasi
Jika mading materinya itu-itu saja pasti pembaca akan bosan. Karenanya, tulisan yang beragam akan sangat menarik pembaca. Misalnya adala hasil liputan, wawancara, artikel, puisi, cerpen, dll
Ada rubric informasi, opini dan hiburan.
Contoh rubric informasi: berita, reportase, resensi
Opini : surat pembaca, artikel,pro-kontra
Hiburan dan sastra: cerpen, puisi, karikatur, poto, dll
6.   Desain
Setiap orang menyukai keindahan.
E.   Contoh materi mading dalam satu edisi:
Tema Mading: Tahun Baru, Semangat Baru
1. SALAM REDAKSI
2. SUSUNAN REDAKSI
3. DAFTAR ISI
   a. Semangat Baru di Tahun Baru
    b. Cita-cita mu Apa?
    c. Refleksi
     d. dll
f. Wawancara (kepala sekolah, guru, Ketua Osis)
g. Liputan khusus (acara tahun baru sekolah)
h. Puisi
i. Slogan, Motto
g. Karikatur
h. Cerpen
F.   Organisasi pengelola mading
Untuk mengelola sebuah penerbitan majalah dinding, dibutuhkan sebuah tim kerja atau kelompok organisasi. Organisasi pengelola madjalah dinding yang sangat sederhana, paling tidak harus dibangun oleh tim yang terdiri dari:
a.    Pimpinan umum
b.   Sekretaris umum
c.    Bendahara umum
Bidang-bidang:
a.    Bidang redaksi: terkait isi dari mading
b.   Bidang percetkan: desain dan cetak

c.    Bidang usaha: iklan, kerja sama dll.