Jumat, 06 Maret 2015

Nasionalisme: Mengindahkan Moralitas Bangsa

nasionalisme adalah tiang utama tegaknya suatu negara.

Tahukah anda, apakah makna nasionalisme? Walaupun istilah nasionalisme sudah tidak asing di telinga, namun kiranya tidak banyak orang yang memahaminya. Menurut Slamet Muljana[1], nasionalisme ibarat nyawa bagi manusia, jantung kehidupan suatu negara. Dan, nasionalisme adalah tiang utama tegaknya suatu negara.
Dengan demikian, tambah Muljana, nasionalisme pada hakikatnya adalah manifestasi kesadaran nasional dalam pengabdiannya kepada bangsa dan negara. Pengabdian disini, tentunya tidak terbatas ruang, waktu, kemampuan dan profesi apapun. Pengabdian seorang petani tentunya berbeda dengan pengabdian seorang guru.  Tetapi, semuanya bisa berjalan berbarengan, tanpa mempunyai sikap sayalah yang paling penting. Karena pada dasarnya semuanya sama, caranya saja yang berbeda.
Selain itu, pengabdian pun tidak terbatas waktu. Jika melihat sejarah Indonesia, sebelum dan sesudah merdeka, tentunya ada perbedaan yang signifikan dalam hal cara “pengabdiannya”. Waktu penjajahan, sikap nasionalisme dilakukan dengan berperang melawan penjajah untuk merebut kemerdekaan. Ketika Indonesia sudah merdeka, tentunya tidak usah berperang lagi dengan penjajah, tetapi harus mengisi kemerdekaan ini dengan hal yang bermanfaat, kreatif, dan produktif, sesuai dengan harapan para pahlwan.
Berbicara sejarah panjang negeri ini, kiranya tidak bisa terlepas dari peran serta kaum muda didalamnya. Dengan semangat, optimisme, kaum muda menjadi warna tersendiri dalam perjuangan bangsa ini. Hal inilah yang seharusnya bisa direflesikan, sebagai suatu kekuatan untuk berbuat lebih baik lagi, dalam mengisi kemerdekaan yang telah memasuki usia ke-68 tahun ini.
Peran pemuda dalam mengisi kemerdekaan sangatlah vital. Karena pemuda adalah aktor masa depan, yang akan membawa bangsa ini mau menjadi apa. Ironisnya, jika melihat kaum muda sekarang jauh dari ekspektasi semua kalangan. Degredasi moral, seolah sangat dekat dengan usia muda, yang nota bene masih mencari jati diri. Misalnya, tawuran antara sekolah yang menyebabkan nyawa hilang sudah beberapa kali terjadi. Melihat fenomena ini, bisa diasumsikan bahwa, kaum muda belum bisa memahmi perbedaan yang ada, baik itu perbedaan pendapat, agama, suku, dan yang lainnya. Yang pada waktu tertentu, bisa menjadi bom waktu yang bisa meledakkan amarah kaum muda, tentunya menyebabkan kerugian yang tidak sedikit.
Padahal, dalam kehidupan ini, perbedaan adalah suatu keniscayaan. Sesuatu yang pasti adanya. Dengan perbedaan, seharusnya bisa membuat hidup lebih indah dan berwarna. Layaknya, memasak makanan yang menggunakan beberapa macam bumbu, yang membuat masakan itu menjadi enak. Tak terbayang rasanya, jika bumbunya hanya garam saja. Inilah pemahaman yang harus ditekankan kepada kaum muda.
Menghormati dan menghargai perbedaan adalah hal mutlak yang harus dilakukan. Inilah yang harus disadari oleh semua pihak, termasuk pemuda. Sejatinya, pemuda mempunyai peran yang strategis untuk mengawal persatuan dan kesatuan bangsa. Dengan senantiasa menjunjung tinggi dan mengindahkan moral “nasional”, bekerja dan berusaha untuk kebaikan bangsa Indonesia.
Manusia sebagai makhluk spiritual, sejatinya tidak bisa terlepas agama. Agama manapun di dunia ini, tidak ada yang mengajarkan kejahatan dan keburukan. Oleh karena itu, sudah seharusnya untuk berbuat kebaikan kepada umat manusia dalam rangka pengabdian kepada agama, bangsa dan negara. Dengan suasan kondusif yang terbangun, dimana peran pemuda menjadi titik sentral, kesatuan dan persatuan sebagai modal dasar dalam menghadapi arus globalisasi –yang tak selamanya positif- .
Sekiranya, kita mampu melihat umat beragama lain sebagai saudara dalam kemanusiaan. Dan, mereka yang seideologi sebagai saudara dalam keimanan.[2] Dengan pemahaman itu, sekuat apapun musuh mencoba untuk menebar virus-viur konflik, semuanya akan sia-sia. Adalah tanggung jawab semua elemen bangsa, termasuk pemuda yang tercerahkan, untuk menjaga persatuan dan kesatuan berbasis toleransi agama.
Oleh: Aan Herdiana
   



[1] Slamet Muljana, Kesadaran Nasional Jilid I, (Yogyakarta: Lkis, 2008) hal. 3-5
[2] Dalam makalah Masdar Farid Masudi, dalam acara diskusi nasional tanggal 15 Januari 2013, di STAIN Purwokerto.

0 komentar:

Posting Komentar