Sabtu, 07 Maret 2015

Cukup Satu Petani Pintar Saja

Jika hari ini, saat ini, ada sebuah pertanyaan kepada muda-mudi Indonesia, “Profesi apa yang anda inginkan?” saya yakini, hanya minoritas yang memilih sebagai petani. Ya, selama ini petani identik dengan kerjaan orang kampung yang tidak berpendidikan. Selain itu, kerja keras ditengah terik matahari menjadi kendala generasi muda enggan memilih profesi klasik ini. Tidak dipungkiri, anak muda sekarang lebih nyaman kerja di ruangan ber-AC dan duduk santai dibelakang meja.

Petani tidak akan pernah kaya! Begitu ujar kawan saya dengan lantangnya, dalam sebuah diskusi. Kiranya pendapat kawan tersebut, sangat pas mewakili kehidupan di kampung tempat saya tinggal. Berpuluh-puluh tahun menekuni profesi sebagai petani, tidak ada peningkatan taraf hidup masyarakat yang signifikan. Masih dalam kesederhanaan (baca: kemiskinan).

Ketika nilai jual hasil panen, tidak sesuai dengan kerja keras dan modal awal, disikapi dengan sangat bijak. Tidak ada hal yang berlebih dalam mengungkapkan ekspresi penyesalan –walau harganya jauh dari logika dan harapan- kecuali gerutuan dari bibirnya, sikap yang spontan dan manusiawi, menurut saya.

Dalam kesederhanaan, baik dalam pikiran dan perbuatan, mereka hanya ingin bisa makan dari hasil taninya. Tidak ada keinginan yang muluk-muluk, kalau lebih untuk biaya anak sekolah. Ditengah arifnya mereka menyikapi hidup ini, tapi disisi lain, tidak dipungkiri mereka adalah korban kaum kapital yang hanya mengejar laba belaka. Kalau seperti itu, apa yang akan kita perbuat?

Mahasiswa sebagai Petani pintar dan bijak

Dalam salah satu tulisannya, budayawan asal Yogyakarta, Prie GS, mengatakan bahwa hutan di Indonesia akan baik-baik saja walaupun dicuri tiap hari. Sepanjang pencuri itu hanyalah para penduduk sederhana yang butuh hanya untuk bangun rumah. Tetapi, cukup dengan hanya satu pencuri pintar saja, seluruh hutan bisa lenyap tak tersisa.

Selama ini, realita di lapangan, petani adalah simbol orang kampung yang hidup dalam kesederhanaan, dengan mempunyai pemikiran, yang penting masih bisa untuk makan. Oleh karenanya, berkaca dari pendapatnya budayawan kota gudeg itu, bisa diasumsikan bahwa, cukup dengan hanya satu petani pintar saja, sektor pertanian Indonesia akan mengalami perubahan yang signifikan.

Ya, kiranya pendapat saya tidak muluk-muluk amat. Pertanian di Indonesia memang butuh figur yang langsung dilapangan, berada dipihak petani, bersama petani, mengerti dan memahami keadaan petani. Tidak hanya sebatas duduk di gedung bertingkat, mengeluarkan kebijakan yang malahan bersebrangan dengan hati nurani rakyat.

Mahasiswa sebagai insan akademis, mempunyai modal itu. Sebagai anak muda, sudah saatnya melek profesi klasik ini. Jika tidak, mungkin benar apa yang dikatakan guru saya, 20 tahun mendatang tidak ada lagi petani di Indonesia. Dan tanda-tandanya sudah bisa kita lihat. Jarang sekali pemuda yang ingin berprofesi sebagai petani, terlebih mahasiswa, yang katanya kaum elit.

Kalau bukan kita, siapa lagi? Mungkin pertanyaan inilah yang akan menggugah hati kita – kalau hati kita tercerahkan untuk berbuat sesuatu bagi negeri ini. Untuk melakukan perubahan, tidak cukup hanya sebatas konsep. Tapi, harus dengan aksi nyata, turun kelapangan. Tentunya, jika profesi petani mulai dilirik oleh kaum intelektual, saya yakin, hasil panennya tidak hanya sebatas untuk makan. Tapi, punya orientasi yang jelas kedepannya. Dengan ilmu yang dimiliki dan jaringan yang dipunyai, serta atas izin Tuhan, tidak ada yang tidak mungkin didunia ini untuk membawa wajah pertanian Indonesia.

Inilah yang jadi faktor pembeda. Secercah harapan muncul dari kaum muda dengan idealisme dan kreatifitasnya. Petani yang tidak lagi polos dan sederhana dengan realita sosial yang ada. Petani yang pintar, tidak hanya dari teknis pengolahannya saja. Tapi juga dalam me-menej, mengolah hasil panen, dengan melihat situasi perekonomian secara makro.


Tapi ingat! Intelektual saja tidak cukup. Harus terus belajar lagi supaya menjadi orang bijak. Dengan kebijakan yang dipunya, kiranya tak kan ada “kebijakan-kebijakan” yang akan menyakiti hati nurani rakyat. Semoga saja, kawan mahasiswa bisa membaca, mendengar, memahami, ide yang tak jelas ini. Salam perubahan
oleh: Aan Herdiana

0 komentar:

Posting Komentar