Jika
hari ini, saat ini, ada sebuah pertanyaan kepada muda-mudi Indonesia, “Profesi
apa yang anda inginkan?” saya yakini, hanya minoritas yang memilih sebagai
petani. Ya, selama ini petani identik dengan kerjaan orang kampung yang tidak
berpendidikan. Selain itu, kerja keras ditengah terik matahari menjadi kendala
generasi muda enggan memilih profesi klasik ini. Tidak dipungkiri, anak muda
sekarang lebih nyaman kerja di ruangan ber-AC dan duduk santai dibelakang meja.
Petani
tidak akan pernah kaya! Begitu ujar kawan saya dengan lantangnya, dalam sebuah
diskusi. Kiranya pendapat kawan tersebut, sangat pas mewakili kehidupan di
kampung tempat saya tinggal. Berpuluh-puluh tahun menekuni profesi sebagai
petani, tidak ada peningkatan taraf hidup masyarakat yang signifikan. Masih
dalam kesederhanaan (baca: kemiskinan).
Ketika
nilai jual hasil panen, tidak sesuai dengan kerja keras dan modal awal,
disikapi dengan sangat bijak. Tidak ada hal yang berlebih dalam mengungkapkan
ekspresi penyesalan –walau harganya jauh dari logika dan harapan- kecuali
gerutuan dari bibirnya, sikap yang spontan dan manusiawi, menurut saya.
Dalam
kesederhanaan, baik dalam pikiran dan perbuatan, mereka hanya ingin bisa makan
dari hasil taninya. Tidak ada keinginan yang muluk-muluk, kalau lebih untuk
biaya anak sekolah. Ditengah arifnya mereka menyikapi hidup ini, tapi disisi
lain, tidak dipungkiri mereka adalah korban kaum kapital yang hanya mengejar
laba belaka. Kalau seperti itu, apa yang akan kita perbuat?
Mahasiswa
sebagai Petani pintar dan bijak
Dalam
salah satu tulisannya, budayawan asal Yogyakarta, Prie GS, mengatakan bahwa hutan di Indonesia akan baik-baik saja
walaupun dicuri tiap hari. Sepanjang pencuri itu hanyalah para penduduk
sederhana yang butuh hanya untuk bangun rumah. Tetapi, cukup dengan hanya satu
pencuri pintar saja, seluruh hutan bisa lenyap tak tersisa.
Selama
ini, realita di lapangan, petani adalah simbol orang kampung yang hidup dalam
kesederhanaan, dengan mempunyai pemikiran, yang penting masih bisa untuk makan.
Oleh karenanya, berkaca dari pendapatnya budayawan kota gudeg itu, bisa
diasumsikan bahwa, cukup dengan hanya
satu petani pintar saja, sektor pertanian Indonesia akan mengalami perubahan
yang signifikan.
Ya,
kiranya pendapat saya tidak muluk-muluk amat. Pertanian di Indonesia memang
butuh figur yang langsung dilapangan, berada dipihak petani, bersama petani,
mengerti dan memahami keadaan petani. Tidak hanya sebatas duduk di gedung
bertingkat, mengeluarkan kebijakan yang malahan bersebrangan dengan hati nurani
rakyat.
Mahasiswa
sebagai insan akademis, mempunyai modal itu. Sebagai anak muda, sudah saatnya
melek profesi klasik ini. Jika tidak, mungkin benar apa yang dikatakan guru
saya, 20 tahun mendatang tidak ada lagi petani di Indonesia. Dan tanda-tandanya
sudah bisa kita lihat. Jarang sekali pemuda yang ingin berprofesi sebagai
petani, terlebih mahasiswa, yang katanya kaum elit.
Kalau
bukan kita, siapa lagi? Mungkin pertanyaan inilah yang akan menggugah hati kita
– kalau hati kita tercerahkan untuk berbuat sesuatu bagi negeri ini. Untuk
melakukan perubahan, tidak cukup hanya sebatas konsep. Tapi, harus dengan aksi
nyata, turun kelapangan. Tentunya, jika profesi petani mulai dilirik oleh kaum
intelektual, saya yakin, hasil panennya tidak hanya sebatas untuk makan. Tapi,
punya orientasi yang jelas kedepannya. Dengan ilmu yang dimiliki dan jaringan
yang dipunyai, serta atas izin Tuhan, tidak ada yang tidak mungkin didunia ini
untuk membawa wajah pertanian Indonesia.
Inilah
yang jadi faktor pembeda. Secercah harapan muncul dari kaum muda dengan
idealisme dan kreatifitasnya. Petani yang tidak lagi polos dan sederhana dengan
realita sosial yang ada. Petani yang pintar, tidak hanya dari teknis
pengolahannya saja. Tapi juga dalam me-menej, mengolah hasil panen, dengan
melihat situasi perekonomian secara makro.
Tapi
ingat! Intelektual saja tidak cukup. Harus terus belajar lagi supaya menjadi
orang bijak. Dengan kebijakan yang dipunya, kiranya tak kan ada
“kebijakan-kebijakan” yang akan menyakiti hati nurani rakyat. Semoga saja,
kawan mahasiswa bisa membaca, mendengar, memahami, ide yang tak jelas ini.
Salam perubahan
oleh: Aan Herdiana
0 komentar:
Posting Komentar